Organisasi Profesi Guru
Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.
Tema Gambar Slide 2
Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.
Tema Gambar Slide 3
Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.
Wednesday, 26 August 2020
Ringkasan Tentang Dajjal
Tuesday, 25 August 2020
Martabat seorang muslim
Thursday, 13 August 2020
Mendidik Anak
“Nakal di, Nak kakak?” tanya Mama melanjutkan. Anak kecil itu mengangguk, lalu Mama segera menghibur, “Biar mi. Jangan ko menangis. Nanti Mama pukul dia itu.”
Mama segera beranjak. Sebuah drama terjadi. Bukan Mama memukul kakak, tetapi kakak baru saja belajar tentang “berdusta untuk kebaikan, dusta untuk meredakan masalah”. Sementara adik belajar mendendam. Belajar merasa senang mendengar saudaranya akan menderita. Mama telah datang sebagai pahlawan. Bukan mengajari mereka menyelesaikan pertengkaran, tetapi mengajari bermain drama dan dusta, sementara pada saat yang sama mengajari melampiaskan sakit hati.
Di tempat lain seorang anak menangis keras-keras. Sekuat yang ia mampu. Umurnya menjelang tujuh tahun, tetapi sudah terdaftar sebagai murid baru di kelas 1 SD meskipun belum mulai belajar di sekolah. Buru-buru emaknya datang, “Kamu ini sudah besar, nangis saja kerjaannya. Sudah, diam!”
Anak itu tak mampu menghentikan tangisnya seketika. Luka di hati baru saja tercipta. Bukan pertengkaran dengan kakak yang menjadi sebabnya, tetapi tindakan emaknya yang menyesakkan dada. Sejak bangun pagi, baru siang ini ia menangis. Belum lima menit. Tetapi serangkaian kegiatan yang baik semenjak pagi hingga menjelang Dzuhur, lenyap seketika nilainya, seolah hanya menangis yang ia lakukan. Tak bertanya apa sebabnya, ia harus diam tanpa alasan apa pun.
Anak ini pun belajar sakit hati kepada emaknya. Ia juga belajar untuk menyakiti saudaranya, sebab ia mengalami sendiri bahwa yang dipersoalkan bukanlah menyakiti, melainkan menangis. Maka agar kakaknya dimarahi emaknya, ia berusaha menjadikan kakaknya menangis. Jika tidak bisa, ia lampiaskan kepada adiknya. Sebuah mata rantai dendam baru saja tercipta bermula dari pertengkaran yang biasa. Emak yang mengajarkannya.
Di waktu yang berbeda seorang anak menangis meraung-raung. Belum lima tahun usianya. Bapaknya yang sedang asyik membersihkan telinga, segera bergerak mendekati anaknya. Jalannya tegap teratur, “Sopo sing nggarai? (Siapa yang bikin gara-gara?)”
Anak itu menyebut nama salah satu kakaknya. Segera bapak ini mendatangi si kakak. Membawa kakak ke ruang lain, entah apa yang terjadi. Kemudian mereka berdua menampilkan drama. Seperti terjadi pukulan keras, tetapi sebenarnya hanya pura-pura. Ada teriak kesakitan dari kakak, tetapi itu juga pura-pura.
Adik baru saja belajar melampiaskan sakit hati kepada saudaranya. Bukan meredakan. Ia belajar membalaskan dendam dari bapaknya sekaligus belajar menyelesaikan masalah tanpa memahami duduk persoalannya. Cukup menyelesaikan gejalanya. Sementara kakak belajar drama. Ia juga belajar dari bapak bahwa dusta itu indah. Ia merasa senang tidak ada penyelidikan atas masalah yang terjadi antara dia dan adiknya, sekaligus mulai hari itu ia belajar meyakini bahwa bapaknya tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Kepada bapak, ia belajar tentang dusta dan pengalihan isu.
Ini hanyalah permulaan. Ternyata yang menjadikan anak menyimpang dari fithrah, yakni kesucian iman, adalah orangtuanya sendiri. Benarlah, sungguh yang harus ditegakkan oleh orangtua saat komunikasi adalah qaulan sadida. Bicara jujur yang lebih dari sekedar jujur. Ini akan menjaga kepercayaan (tsiqah) anak. Orangtua juga harus belajar menegakkan rifq (lembut disertai keramahan) dan hilm (lembut beriring ketenangan dan kesabaran) sehingga dengan itu anak belajar hurmat kepada orangtua. Keduanya disertai anah, yakni tidak menentukan sikap kecuali setelah jelas betul duduk permasalahan segala sesuatu.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla ampuni segala kesalahan kita dalam mendidik anak dan semoga Allah Ta’ala baguskan kita dalam mendidik di waktu-waktu berikutnya. Semoga Allah Ta’ala perbaiki dan tinggikan iman serta akhlak anak-anak kita. Kepada-Nya kita isti’anah (memohon pertolongan).
________
Mohammad Fauzil Adhim
Cara Jepang Belajar di rumah semasa pandemi
Cara Jepang Saat Anak Belajar di Rumah
Saat ditemukan kasus positif Corona akhir Februari pada siswa SMP (kebetulan satu SMP dengan anak saya), anak sekolah SMP langsung diliburkan. Waktu itu hari minggu, tiba-tiba sensei telfon. Intinya mengabarkan bahwa mulai Senin semua anak kelas 1 sampai kelas 3 diliburkan.
Karena di tempat lain penyebaran virus semakin masif, sekitar awal bulan Maret Perdana Menteri mengumumkan bahwa sekolah SD, SMP dan SMA di seluruh Jepang diliburkan.
Seperti biasa setiap kebijakan pasti tidak bisa menyenangkan semua orang. Keputusan perdana menteri ini mengundang pro dan kontra. Tapi pemerintah tidak bergeming dengan keputusannya. Melindungi anak-anak dari penyebaran virus lebih penting dari pada menanggapi mereka yang pro dan kontra.
Beberapa hal yang dilakukan sekolah terkait anak belajar di rumah yang saya ingat saya rangkum dalam tulisan singkat berikut. Jika ada yang kurang atau terlupa bisa nanti ditambahkan.
Tidak pernah ada pembelajaran daring. Tidak pernah anak-anak membuat tugas yang berhubungan dengan internet. Semua tugas diberikan secara fisik. Pernah orang tua dikirim password untuk mengambil bahan ajar di situs internet. Seingat saya sekali, tetapi penyerahan tugas itu tidak melalui internet.
Boleh dikatakan rakyat Jepang melek internet. rasanya tidak ada rumah tangga yang tidak punya akses internet di sini. Tetapi tugas anak tidak diberikan melalui media itu. Mengumpulkan tugas juga tidak pakai internet. Mungkin kebijakan ini untuk menghindari anak-anak terpapar secara masif dengan Gadget.
Pekerjaan rumah tetap diberikan seminggu sekali. Setiap minggu ada pos yang mengirim tugas tersebut dalam sebuah amplop. Anak-anak mengerjakan di rumah.
Secara berangsur mulai tanggal 1 Juni sekolah secara resmi dibuka kembali. Caranya anak-anak dibagi menjadi 2 kelompok. Misalnya No absen 1-15 ke sekolah hari Senin. No absen 16-30 hari Selasa dan seterusnya. Selang seling, dan belajar hanya sebentar tidak full day seperti biasa.
Sedangkan anak SMP sebelum tanggal 1 Juni sudah sekolah sekali seminggu untuk mengumpulkan tugas saja.
Anak-anak wajib pakai masker. Setiap hari suhu tubuh harus diperiksa di rumah. Anak-anak wajib menulis berapa suhunya pada sebuah Kertas yang sudah disediakan. Setelah itu wajib paraf atau tanda tangan orang tua. Kertas itu dibawa ke sekolah setiap hari.
Jika ada anggota keluarga yang sakit anak-anak tidak boleh ke sekolah walaupun anaknya sehat.
Anak-anak Jepang boleh dikatakan sedikit berinteraksi dengan orang lain atau berkerumun saat sekolah. Karena mereka berangkat sekolah jalan kaki. Di sekolah tidak ada kantin atau koperasi apalagi pedagang asongan di areal sekolah. Jadi kemungkinan terpaparnya bisa diminimalisir.
Sampai hari hari ini sekolah di kota kami sudah berjalan normal full day seperti biasa. Dengan tetap masih mematuhi protokol covid yang saya ceritakan di atas.
Saya tidak tau apakah model seperti ini bisa diterapkan di tanah air. Menginggat kesadaran orang tua untuk memakai masker belumlah terlalu tinggi. Apalagi kesadaran anak dan lingkungan.
Saya bisa memahami kekhawatiran pemerintah akan rentannya anak-anak terpapar virus. Saya juga bisa mengerti kegundahan orang tua yang selama ini mempercayakan pendidikan anaknya pada sekolah. Khususnya orang tua di daerah terpencil. Saya juga berempati kepada guru yang dituntut masuk sekolah sedangkan anaknya sendiri harus belajar di rumah.
Sungguh ini kondisi yang tidak nyaman bagi kita semua. Kita seperti memakan pil pahit Corona. Tapi percayalah, disetiap kesulitan itu pasti ada kemudahan.
Jika saya boleh usul kepada pemerintah, jika ingin normal kembali sekolah dibuka secara bertahap. Jumlah siswa dibatasi dengan cara digilir hari atau jam masukknya. Jika cara ini belum bisa meredakan kekhawatiran pemerintah, guru sebaiknya memberikan tugas kepada anak dalam bentuk fisik. Sehingga bagi mereka yang terbatas internet tetap dapat belajar.
Prosesnya berangsur, kemudian evaluasi. Jika aman, berikutnya sekolah bisa dilaksanakan secara normal seperti sebelum covid. Jika ada yang terpapar, jangan coba-coba ambil resiko. Menyelamatkan nyawa anak-anak jauh lebih penting.
Walahualam bishowab...
Sumber :Copi paste