“Nakal di, Nak kakak?” tanya Mama melanjutkan. Anak kecil itu mengangguk, lalu Mama segera menghibur, “Biar mi. Jangan ko menangis. Nanti Mama pukul dia itu.”
Mama segera beranjak. Sebuah drama terjadi. Bukan Mama memukul kakak, tetapi kakak baru saja belajar tentang “berdusta untuk kebaikan, dusta untuk meredakan masalah”. Sementara adik belajar mendendam. Belajar merasa senang mendengar saudaranya akan menderita. Mama telah datang sebagai pahlawan. Bukan mengajari mereka menyelesaikan pertengkaran, tetapi mengajari bermain drama dan dusta, sementara pada saat yang sama mengajari melampiaskan sakit hati.
Di tempat lain seorang anak menangis keras-keras. Sekuat yang ia mampu. Umurnya menjelang tujuh tahun, tetapi sudah terdaftar sebagai murid baru di kelas 1 SD meskipun belum mulai belajar di sekolah. Buru-buru emaknya datang, “Kamu ini sudah besar, nangis saja kerjaannya. Sudah, diam!”
Anak itu tak mampu menghentikan tangisnya seketika. Luka di hati baru saja tercipta. Bukan pertengkaran dengan kakak yang menjadi sebabnya, tetapi tindakan emaknya yang menyesakkan dada. Sejak bangun pagi, baru siang ini ia menangis. Belum lima menit. Tetapi serangkaian kegiatan yang baik semenjak pagi hingga menjelang Dzuhur, lenyap seketika nilainya, seolah hanya menangis yang ia lakukan. Tak bertanya apa sebabnya, ia harus diam tanpa alasan apa pun.
Anak ini pun belajar sakit hati kepada emaknya. Ia juga belajar untuk menyakiti saudaranya, sebab ia mengalami sendiri bahwa yang dipersoalkan bukanlah menyakiti, melainkan menangis. Maka agar kakaknya dimarahi emaknya, ia berusaha menjadikan kakaknya menangis. Jika tidak bisa, ia lampiaskan kepada adiknya. Sebuah mata rantai dendam baru saja tercipta bermula dari pertengkaran yang biasa. Emak yang mengajarkannya.
Di waktu yang berbeda seorang anak menangis meraung-raung. Belum lima tahun usianya. Bapaknya yang sedang asyik membersihkan telinga, segera bergerak mendekati anaknya. Jalannya tegap teratur, “Sopo sing nggarai? (Siapa yang bikin gara-gara?)”
Anak itu menyebut nama salah satu kakaknya. Segera bapak ini mendatangi si kakak. Membawa kakak ke ruang lain, entah apa yang terjadi. Kemudian mereka berdua menampilkan drama. Seperti terjadi pukulan keras, tetapi sebenarnya hanya pura-pura. Ada teriak kesakitan dari kakak, tetapi itu juga pura-pura.
Adik baru saja belajar melampiaskan sakit hati kepada saudaranya. Bukan meredakan. Ia belajar membalaskan dendam dari bapaknya sekaligus belajar menyelesaikan masalah tanpa memahami duduk persoalannya. Cukup menyelesaikan gejalanya. Sementara kakak belajar drama. Ia juga belajar dari bapak bahwa dusta itu indah. Ia merasa senang tidak ada penyelidikan atas masalah yang terjadi antara dia dan adiknya, sekaligus mulai hari itu ia belajar meyakini bahwa bapaknya tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Kepada bapak, ia belajar tentang dusta dan pengalihan isu.
Ini hanyalah permulaan. Ternyata yang menjadikan anak menyimpang dari fithrah, yakni kesucian iman, adalah orangtuanya sendiri. Benarlah, sungguh yang harus ditegakkan oleh orangtua saat komunikasi adalah qaulan sadida. Bicara jujur yang lebih dari sekedar jujur. Ini akan menjaga kepercayaan (tsiqah) anak. Orangtua juga harus belajar menegakkan rifq (lembut disertai keramahan) dan hilm (lembut beriring ketenangan dan kesabaran) sehingga dengan itu anak belajar hurmat kepada orangtua. Keduanya disertai anah, yakni tidak menentukan sikap kecuali setelah jelas betul duduk permasalahan segala sesuatu.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla ampuni segala kesalahan kita dalam mendidik anak dan semoga Allah Ta’ala baguskan kita dalam mendidik di waktu-waktu berikutnya. Semoga Allah Ta’ala perbaiki dan tinggikan iman serta akhlak anak-anak kita. Kepada-Nya kita isti’anah (memohon pertolongan).
________
Mohammad Fauzil Adhim
Sumber: Klik disini
0 comments:
Post a Comment